A. Pengertian Bersuci
Dari segi kebahasaan taharah berarti “suci” atau “bersih”. Dalam pengertian fikih berarti “bersuci dari segala najis dan hadas” .
Taharah adalah membersihkan diri, pakaian dan tempat dari segala hadas dan najis. Untuk suci dari hadas haruslah melakukan wudhu, mandi wajib atau tayammum. Sedangkan agar suci dari najis haruslah menghilangkan kotoran yang ada di badan, pakaian atau tempat yang terkena.
B. Pengertian Air
Air atau al-ma adalah senyawa kimia yang paling banyak terdapat di bumi, merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Air dapat berbentuk zat cair, zat padat atau uap air. Istilah air digunakan untuk bentuk cair.
C. Dasar dan Hikmah Penggunaan Air dalam Bersuci
“... dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kakimu”. (QS. 8:11).
Sesungguhnya walau telah diketahui sejak dulu bahwa air adalah sarana yang digunakan untuk menghilangkan kotoran dan apa-apa yang mengganggu kebersihan. Namun ada hikmah mengapa Allah memerintahkan kita untuk membersihkan najis dengan air. Karena air mampu menghilangkan kotoran itu sendiri dan juga dampak dari kotoran tersebut yaitu bau busuk serta apa-apa yang melekat di badan yang menyebabkan bau yang kurang sedap. Bau apabila bercampur dengan udara dan masuk dalam tubuh melalui lubang pori-pori dapat membahayakan badan. Karena, udara adalah aliran yang terdiri dari partikel-partikel terkecil yang dapat masuk ke pori-pori.
D. Jenis-Jenis Air
Jika dilihat dari segi hukumnya, fukaha membagi air dalam empat (4) macam yaitu:
1. Air Mutlak (al-Ma’ Al-Mutlaq);
Ulama fikih sepakat menetapkan bahwa hukum air mutlak adalah adalah suci dan mensucikan. Suci karena karena zat air itu sendiri tidak mengandung kotoran atau najis sehingga halal diminum. Mensucikan karena air tersebut dapat digunakan untuk bersuci dari hadas.
Yang termasuk dalam kategori air mutlak adalah:
a. Air hujan, salju dan embun
Dasar hukum:
-“...Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS.25:48)
-“...Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk untuk menyucikan kamu”. (QS.8:11).
-“Ya Allah sucikanlah aku dengan salju, embun dan air yang sejuk/dingin”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
b.Air Laut (al-ma’ al-bahr)
Dasar hukum:
Dalam sebuah hadis, seorang bertanya pada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, kami berlayar di laut, dan kami hanya membawa sedikit persediaan air yang apabila kami gunakan untuk berwudhu niscaya habis sehingga kami tidak memperoleh air lagi untuk diminum. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?”. Rasulullah menjawab: “Laut itu suci airnya dan bangkai binatangnya halal (dimakan). (HR. Bukhari, Muslim, Al-Nasa’i, at-Tirmizi dan Abu Dawud).
c.Air zamzam (al-ma’ az-zamzam)
Dasar Hukum:
Hadis yang diterima dari Ali bin Abi Talib: “Rasulullah SAW pernah mengambil setimba atau seember air zamzam, lalu beliau meminum sebagian dan menggunakan sebagian lagi untuk berwudhu” (HR. Ahmad bin Hanbal)
d.Air yang berubah disebabkan telah lama tergenang/tersimpan,
Hal ini disebabkan tempatnya atau bercampur dengan sesuatu yang menurut kebiasaan tidak dapat dihilangkan dari air (misalnya lumut). Perubahan warna atau bau air disebabkan hal tersebut tidak berakibat menghilangkan sifat air mutlak.
2.Air yang telah dipakai (al-ma’al-musta’mal);
Jumhur ulama mengartikan air musta’mal dengan air yang terpisah atau mengalir dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi wajib. Ulama fikih Mazhab Hanafi mengartikannya sebagai air yang telah dipakai untuk menyiram atau membasuh anggota badan ketika berwudhu atau mandi, sedangkan air yang tertinggal (di ember misalnya) adalah air sisa yang belum dipakai.
Dasar hukum:
Fukaha membolehkan berwudhu dengan air sisa tersebut dengan alasan bahwa Nabi SAW sendiri pernah berwudhu dari dalam bejana (HR. Al Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hambal). Menurut Imam Asy-Syafii dan Imam Malik, bagi seseorang yang akan wudhu dari dalam bejana disunahkan lebih dahulu membasuh kedua tangannya di luar bejana sebanyak tiga kali.
Sebagian ulama fikih dari Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa jika air musta’mal itu sedikit (tidak cukup dua kullah ; 216 liter), maka air itu tidak lagi mensucikan. Tetapi jika air tersebut banyak maka tetap suci dan mensucikan. Menurut mereka jika air yang sudah dipakai itu hanya tinggal sedikit maka akan timbul rasa jijik utnuk memakainya seperti halnya air kotor.
Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki mandi dengan air bekas wudhu seorang perempuan. Dan melarang seorang perempuan mandi dengan bekas air wudhu seorang laki-laki. Tetapi apabila keduanya suami istri maka boleh melakukannya bersama-sama.
3.Air yang telah bercampur dengan benda yang suci;
Ulama fikih berpendapat bahwa hukum air yang telah dicampur dengan benda-benda yang suci (seperti sabun dan tepung) tetap suci dan mensucikan, selama tetap dapat disebut sebagai air mutlak. Tetapi jika namanya telah berubah menjadi air sabun, misalnya, maka air tesebut tidak lagi disebut air mutlak meskipun tetap suci zatnya.
Dasar hukum:
Pada hadis (HR. Al Jamaah) Nabi Muhammad menyuruh memandikan putrinya dengan air yang dicampur kapur barus. Hal ini menunjukkan bahwa air yang dicampur dengan benda-benda yang suci boleh dipakai untuk bersuci seperti wudhu dan mandi, sebab jenazah hanya boleh dimandikan dengan air yang sah dipakai mandi dan wudhu oleh orang yang hidup.
4.Air yang telah bercampur dengan benda najis.
Percampuran tersebut bisa terjadi dengan masuknya najis ke dalam air atau air masuk ke dalam bejana yang dalamnya ada najis. Adakalanya percampuran tersebut dapat merubah sifat-sifat air, seperti rasa, warna dan baunya.
Menurut Ulama apabila percampuran tersebut mengubah salah satu sifat air, maka air tersebut tidak lagi suci dan mensucikan. Air tersebut tidak boleh digunakan untuk minum ataupun wudhu karena telah jelas bernajis.
Apabila percampuran tidak merubah sifat air tersebut yaitu rasa, warna atau bau, maka hukumnya adalah suci dan mensucikan jika airnya banyak.
Dasar hukum:
”Bahwasanya air itu tidak dapat dinajisi oleh sesuatu, melainkan yang dapat mengubah bau, rasa atau warnanya” (HR. Ibnu Majah).
Dalam menentukan banyak sedikitnya air:
-Menurut Mazhab Hanafi : air yang banyak adalah apabila air digerak-gerakkan pada salah satu tepinya tidak bergerak ke tepi yang lain. Dasar pemikirannya apabila satu sisi saat digerakkan tidak menimbulkan gerakan pada sisi lain maka air yang di sudut lain tidak ikut bercampur dan dikotori oleh najis yang terjatuh pada sudut lain.
- Mazhab Syafi’i : air yang banyak adalah air yang seukuran minimal dua kullah, jika kurang dari dua kullah maka ia termasuk sedikit.
Dasar hukum: Hadis Nabi “Apabila air itu dua kullah tidak mengandung najis” (HR. Asy Syafi’i, Abu Dawud, at Tirmizi dan Ibnu Majah)
5.Air Sisa Minuman
Air yang tersisa dalam bejana setelah diminum sebagiannya, bukan air yang telah dimasukkan dalam mulut kemudian dikeluarkan.
Kategori air terbagi sebagai berikut:
a.Sisa minuman manusia
Air ini suci dan mensucikan. Tidak ada perbedaaan antara sisa minuman muslim, kafir, haid dsb.
Dasar hukum :
Hadis yang diterima dari Aisyah binti Abu Bakar dijelaskan bahwa Nabi SAW pernah minum sisa minum Aisyah pada waktu Aisyah dalam keadaan haid (HR. Muslim)
b.Sisa minuman keledai dan binatang buas
Ulama fikih memperbolehkan bersuci dengan air sisa minuman keledai dan binatang buas.
Dasar hukum:
Hadis yang diterima dari Jabir bin Abdullah: ”Rasulullah SAW ditanya seseorang tentang hukum berwudu dengan air sisa minuman keledai. Nabi menjawab: “Ya (boleh) menggunakannya untuk berwudu dan demikian juga sisa minuman binatang buas.” (HR. asy-syafi’i dan ad-daruqutni)
c.Air sisa minuman kucing
Air sisa minum kucing juga suci dan mensucikan.
Dasar hukum:
Dalam sebuah hadis yang panjang dinyatakan ”Sesungguhnya sisa minuman kucing itu bukan najis. Ia termasuk binatang yang berkeliaran di lingkunganmu” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i dan at-Tirmizi).
Pada hadis lain diterangkan bahwa Aisyah binti Abu Bakar pernah menyodorkan bejana kepada kucing sehingga kucing itu meminum dari dalam bejana, kemudian Nabi SAW berwudhu dengan sisanya (HR. Ad- Daruqutni)
d.Air sisa minuman anjing dan babi
Fukaha sepakat mengatakan bahwa air sisa minuman kedua jenis binatang tersebut adalah najis yang wajib dijauhi.
Dasar hukum:
Apabila anjing meminum air pada bejana salah seorang diantara kamu, maka hendaklah ia membasuh bejana itu tujuh kali dan salah satu diantaranya dengan tanah. (HR. Al-bukhari). Sedangkan kenajisan air sisa minuman babi adalah karena kekotorannya melebihi anjing.
Tambahan:
-Air Musyammas yaitu air yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makhruh untuk digunakan.
Mis : air yang bertempat di logam yang bukan emas dan terkena panas matahari.
-Air yang didapat dengan mencuri (Ghosob). Meskipun suci lagi mensucikan tetapi haram untuk digunakan.
-Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Namun belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. (http://ustsarwat.com)
Daftar Pustaka:
1.http://ustsarwat.com, Senin, 8 Juni 2009, jam 15.18
2.Redaksi: Dr. Nasrun Haroen, M.A., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996.
3.Redaksi: Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, Ensiklopedi Islam, jilid 1, Edisi Baru, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
4.Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Edisi yang Disempurnakan, LPKAI Cahaya Salam, Cet.2, Bogor, 2008.
5.Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Gema Insani Press, Terj: Faisal Saleh dkk, Jakarta, 2006.
Senin, Juni 15, 2009
Fiqh Air
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar